TUGAS INDIVIDU
“KORUPSI DAN DASAR HUKUM PEMBERANTASANNYA”
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas UUD 1945 dan Pancasila sebagai landasan filsafah negara. Serta Indonesia terdiri dari berbagai macam agama yaitu Hindhu, Budha, Kristen, Islam dan Kong huchu sehingga setiap orang kebanyakan menilai orang dari segi sosial dan agamanya. Pada masa ORLA dan ORBA penduduk Indonesia dikatakan sebagai penduduk yang bersifat ketimur-timuran karena sifatnya memang seperti orang-orang timur, maksudnya adalah sikap orang Indonesia pada saat itu bersikap sopan, santun, baik, ramah tamah dan jujur, serta rasa sosialis yang tinggi. Tapi, pada awal era revormasi sekitar tahun 2000 an penduduk Indonesia seketika berubah tapi bukan tidak melalui proses. Penduduk Indonesia telah terkena demonstration effect sehingga sebutan Indonesia sebagai Negara yang ketimur-timuran kini berubah menjadi Negara yang kebarat-baratan.
Disebut Negara kebarat-baratan karena sikap moral dari pada penduduk Indonesia ini sudah mulai menurun, dan ini termasuk sebagai salah satu permasalahaan sosial yang akan menyebabkan generasi muda sebagai generasi penerus mempunyai watak yang tidak baik, jika seperti itu maka kelanjutan dari pada Negara ini tidak akan bisa dibayangkan, betapa koprol nya nanti Negara ini jika dipimpin oleh pemimpin yang mempunyai watak dan moral yang kurang baik. Terlepas dari hal itu, nampaknya kini sudah ada hasilnya, dari mulai ORBA sampai Era Reformasi Pancasia yang bersifat demokratis seperti saat ini Indonesia sudah menerima hasil nya berupa pemerintahan yang koprol. Koprol dalam artian adalah para pemimpin dan ahli politik saling membenarkan persepsi sendiri dan mementingkan diri sendiri atau golongan sehingga rakyat kecil menjadi bingung dan terjadi KKN ( korupsi, kolusi dan nepotisme) yang semakin lama semakin marak dan semakin sulit untuk menumpasnya.
Permasalahan ini memang bukan merupakan masalah yang baru, tapi sungguh sangat berbahaya bagi kelangsungan Negara ini, jika pemerintah dan para ahli politik saling bertentangan dalam persepsi mereka serta rasa egois untuk balik modal dalam kampanye yang dilakukan dan bukan semata-mata karena rakyat, sikap ini sangat amat bahaya sekali. Penyakit ini jika penulis samakan dalam penyakit manusia adalah sama halnya dengan penyakit HIV/AIDS yang karakteristik dari penyakit ini adalah gejala yang terjadi akan terasa setelah terkena selama maksimal 2 sampai 5 tahun yang melemahkan sistem kekebalan tubuh. Begitupun dengan penyakit Negara kita saat ini yaitu korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dampaknya akan kelihatan dalam selang waktu yang cukup lama. Bahkan Singapura pernah mengecap Indonesia sebagai the envelope country, jika diterjemahkan secara bebas artinya adalah Sebuah Negara amplop. Menurut penulis wajar Singapura mengecap Indonesia dengan sebutan itu dan seharusnya para Aparatur Negara tanpa terkecuali seharusnya berkaca dari ucapan itu dan bukan malah menuntut Singapur. Mengapa demikian?, jelas kerana fakta yang ada di Indonesia saat ini adalah segala hal bisa dibeli mulai dari hukum, lisensi, tender, wartawan, hakim, jaksa, petugas pajak dan dari lembaga Independen sekalipun bisa dibeli. Title atau julukan sebagai Negara terkorup tentunya sangat memanaskan telinga untuk didengar karena pasalnya Indonesia telah kalah dengan china, karena china kini sudah bisa untuk memperbaiki diri. Bahkan china mengambil langkah yang tegas dengan menghukum mati bagi yang melakukan tindak pidana korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan. Jika terdapat pertanyaan, mengapa Indonesia tidak melakukan tindakan seperti itu?, jawabannya adalah tentu saja Indonesia tidak akan mengambil tindakan setegas itu karena merupakan pelanggaran Hak Azazi Manusia dan menurut Dr. Iyus Akhmad Haris, M.Pd,. (dosen jurusan pendidikan ekonomi, fakultas ilmu sosial undiksha) dalam mata kuliahnya Pendidikan Ilmu Sosial menjelaskan bahwa permasalahan sosial yang terjadi di lain daerah walaupun pokok permasalahannya sama tapi belum tentu solusinya sama . Lantas, apa yang harus dilakukan pemerintah ?. pertanyaan ini menjadi tanda Tanya besar bagi Indonesia karena sampai saat ini pun Indonesia belum mampu menuntaskan permasalahan korupsi ini, seperti contoh kasus bank century, kasus pajak gayus dan masih banyak kasus-kasus yang menggelapkan uang Negara dan merugikan Negara yang belum tuntas. Masalah korupsi memang merupakan masalah yang besar dan menarik sebagai persoalan hukum yang menyangkut jenis kejahatan yang rumit penanggulangannya, karena korupsi mengandung aspek yang majemuk dalam kaitannya dengan (konteks) politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Berbagai upaya pemberantasan sejak dulu ternyata tidak mampu mengikis habis kejahatan korupsi. Karena dalam Masalah pembuktian dalam tindak pidana korupsi memang merupakan masalah yang rumit, karena pelaku tindak pidana korupsi ini melakukan kejahatannya dengan rapi. Sulitnya pembuktian dalam perkara korupsi ini merupakan tantangan bagi para aparat penegak hukum untuk tetap konsisten dengan penuh rasa tanggung jawab. Jika mantan presiden Alm. Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan cara pemberantasan korupsi adalah dengan cara pembuktian terbalik terhadap tindak pidana korupsi. Dimakalah ini tidak akan menyinggung masalah cara pembuktian terbalik terhadap tindak pidana korupsi tersebut, akan tetapi akan menyinggung cara untuk membasmi korupsi ini dari berbagai aspek terutama dari sikap normatif para pemimpin oleh karena itulah judul makalah ini adalah ” TIGA PILAR SOLUSI PEMECAHAN KORUPSI ” ( kajia individu, budaya, dan sistem aturan yang berlaku). Judul diatas mengartikan bahwa korupsi yang terjadi di Indonesia ini, hendaknya dilihat dalam perspektif normatif, yang akan dilihat dari sikap mental dan watak.
Rumusan Masalah
pembahasan terhadap permasalahan sebagai
berikut.
a.
Apakah Pengertian Korupsi ?
b.
Bagaimana Fakta korupsi yang terjadi di masyarakat ?
c. Upaya apa sajakah yang
telah dilakukan pemerintah dalam pemberantasan korupsi ?
d.
Bagaimana Solusi Pemberantasan korupsi ?
Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai melalui penulisan ini adalah
sebagai berikut.
a. Untuk mengetahui Pengertian Korupsi
b. Untuk mengetahui Fakta korupsi
yang terjadi di masyarakat
c. Untuk mengetahui tindakan-tindakan
pemerintah dalam pemberantasan korupsi
d. Untuk mengetahui solusi
Pemberantasan korupsi.
Hasil penulisan ini
diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai solusi pemecahan masalah
dalam pemberantasan korupsi yang semakin mengakar di indoesia ini.
BAB II
PENJELASAN
Pengertian Korupsi
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu
jenis dari berbagai jenis tindak pidana. Korupsi memang sudah dianggap sebagai
penyakit moral, bahkan ada kecenderungan semakin berkembang dengan penyebab
multifaktor. Dibawah ini merupaka beberapa pendapat dari para ahli tentang
pengertian dari korupsi.
disimpulkan bahwa korupsi merupakan tindakan
pidana yang memiliki unsur unsur sebagai berikut.
a. Perbuatan Melawan Hukum,
b. Penyalahgunaan wewenang, kesempatan, atau sarana,
c. Memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi,
d. Merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
Menurut Prof. Muljatno (dalam K Wantjik Saleh,
1983 : hal. 16), Tindak Pidana merupakan Perbuatan yang oleh aturan hukum
pidana dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar aturan
tersebut. Menurut wujudnya atau sifatnya perbuatan pidana ini adalah
perbuatan-perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan-perbuatan ini juga merugikan
masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya
tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil.
Dapat penulis simpulkan disini bahwa Korupsi
merupakan Tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan kekuasaannya guna
mengeduk keuntungan pribadi atau kelompok dan sangat merugikan kepentingan umum
dan sangat bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.
Faktor-faktor penyebab korupsi
telah di identifikasikan bahwa faktor-faktor penyebab
korupsi di Indonesia terdiri atas 4 (empat) aspek, yaitu:
a. Aspek perilaku individu, yaitu faktor-faktor internal yang
mendorong seseorang melakukan korupsi seperti adanya sifat tamak, moral yang
kurang kuat menghadapi godaan, penghasilan yang tidak mencukupi kebutuhan hidup
yang wajar, kebutuhan hidup yang mendesak, gaya hidup konsumtif, malas atau
tidak mau bekerja keras, serta tidak diamalkannya ajaran-ajaran agama secara
benar.
b. Aspek organisasi, yaitu kurang adanya keteladanan dari
pimpinan, kultur organisasi yang tidak benar, sistem akuntabilitas yang tidak
memadai, kelemahan system pengendalian manajemen, dan kecenderungan manajemen
menutupi perbuatan korupsi yang terjadi dalam organisasinya.
c. Aspek masyarakat, yaitu berkaitan dengan lingkungan
masyarakat di mana individu dan organisasi tersebut berada, seperti nilai-nilai
yang berlaku yang kondusif untuk terjadinya korupsi, kurangnya kesadaran bahwa
yang paling dirugikan dari terjadinya praktik korupsi adalah masyarakat dan
mereka sendiri terlibat dalam praktik korupsi, serta pencegahan dan
pemberantasan korupsi hanya akan berhasil bila masyarakat ikut berperan aktif.
Selain itu adanya penyalahartian pengertian dalam budaya bangsa Indonesia.
d. Aspek peraturan perundang-undangan, yaitu terbitnya peraturan
perundang-undangan yang bersifat monopolistik yang hanya menguntungkan kerabat
dan atau kroni penguasa negara, kualitas peraturan perundang-undangan yang
kurang memadai, yudisial review yang kurang efektif, penjatuhan sanksi yang
terlalu ringan, penerapan sanksi tidak konsisten dan pandang bulu, serta
lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan. Azhari
mengungkapkan faktor penyebab merajalelanya tindak korupsi kerena tiga hal.
Korupsi terjadi karena lemahnya control Negara terhadap aparatnya, perlakukan
hukum yang berbeda anatara penguasaha dan rakyat jelata dan ringannya sanksi
hukum terhadap para koruptor. Lemahnya control Negara dapat kita lihat dari
‘kerjasama’ yang baik antara yang diperiksa dan yang memeriksa, meskipun telah
ada pemeriksa khusus yang sifatnya Independen didalam kelembagaan Negara
seperti BPK, KPK dan badan-badan lainnya, tetapi sering mereka dengan mudah
mengatur agar terlihat bersih karena mental korup telah merasuk secara mendalam
terhadap para aparat pemerintah. Perlakuan hukum yang berbeda dapat kita lihat
ketika pejabat pemerintah (eksekutif, legislatif dan yudikatif) yang terlibat
korupsi, mereka berusaha untuk saling menutup-nutupi kasus korupsi, bahkan
setelah terbukti bersalah dipengadilan-pun pejabat tersebut tidak dipecat dan
tidak dipenjara. Vonis pengadilan bisa dinegosiasikan antara eksekutif,
legislatif, dan yudikatif untuk kepentingan politik (koalisi) jangka panjang.
Seorang anggota DPR yang terbukti korupsi dapat dibebaskan dengan kompensasi
tidak “mengganggu” pemerintah (eksekutif). Sedangkan maling-maling kecil dari
rakyat jelata, bahkan hanya mencuri sepasang sandal saja atau mengambil buah
kapas saja segera dipenjara.
Ringannya sanksi hukum dapat kita amati dari
miliyaran bahkan triliunan rupiah uang rakyat yang di korup, sanksi yang harus
ditanggung hanyalah satu tahun atau beberapa tahun penjara saja. Bandingkan
dengan pencopet puluhan ribu rupiah saja yang dihukum dengan waktu yang sama.
Disamping itu mereka tidak diharuskan untuk mengembalikan harta yang mereka
korup, karena mereka bisa dengan pintar untuk mengatasnamakan keluarganya atas
asset yang mereka peroleh dari korupsi. Sehingga sanksi yang ringan ini tidak
membuat jera pelakunya, setelah bebas dari penjara mereka menikmati harta
miliyaran yang mereka korup. Sedangkan menurut S. H. Alatas korupsi terjadi
disebabkan oleh faktor-faktor berikut.
a) Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi
kunci yang mampu memberikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan
korupsi,
b) Kelemahan
pengajaran-pengajaran agama dan etika,
c) Kolonialisme,
d) Kurangnya
pendidikan,
e) Kemiskinan,
f) Tiadanya hukuman
yang keras,
g) Kelangkaan
lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi,
h) Struktur
pemerintahan,
i) Perubahan radikal,
dan
j) Keadaan masyarakat.
Abdullah Hehamahua juga melihat ada tiga
faktor penyebab korupsi di Indonesia, yaitu:
pertama, konsumsi tinggi dan rendahnya gaji. Sudah jadi rahasia
umum bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat konsumtif, tidak
sedikit yang sampai shopping ke luar negeri sementara gaji pegawai rata-rata di
Indonesia hanya cukup dua minggu. Nasib dua minggu berikutnya tergantung dari
kreatifitasnya masing-masing yang salah satu kreatifitas tersebut dengan melakukan
KKN. Kedua, Pengawasan pembangunan yang tidak efektif. Karena pengawasan
pembangunan yang lemah maka membuka peluang yang seluas-luasnya untuk melakukan
penyalahgunaan semisal mark up dan lain sebagainya, dan ketiga, sikap serakah
pejabat.
Lebih lanjut menurut Hehamahua, meskipun KKN terjadi disebabkan
tiga faktor di atas, tetapi jika ditelusuri lebih jauh sebenarnya ada tiga
persoalan lebih mendasar yang menyebabkan terjadinya korupsi, yaitu: Pertama,
sistem pembangunan yang keliru. Kesalahan terbesar pemerintah Orde Lama yang
kemudian diteruskan Orde Baru adalah menerapkan sistem pembangunan yang keliru,
yaitu mengikuti secara membabi buta intervensi Barat. Kedua, kerancuan
institusi kenegaraan. Tumpang tindihnya fungsi dan peran institusi negara menyuburkan
praktek KKN di Indonesia. Dan ketiga, tidak tegaknya supremasi hukum. Hukum
hanya tegak ketika berhadapan dengan orang ‘kecil’ seperti pencuri ayam tetapi
hukum bisu ketika harus berhadapan orang ‘besar’ seperti para koruptor yang
telah mencuri uang rakyat. Hukum bisa dibeli, maka tak heran kalau banyak para
terdakwa yang telah diputus bersalah tetap bebas leluasa berkeliaran bahkan ada
yang bisa menjadi calon presiden.
Prasyarat keberhasilan dalam pencegahan dan penanggulangan
korupsi adalah adanya komitmen dari seluruh komponen bangsa, meliputi komitmen
seluruh rakyat secara konkrit, Lembaga Tertinggi Negara, serta Lembaga Tinggi
Negara.
Akibat-Akibat Korupsi
David H. Bayley menyatakan bahwa akibat-akibat
korupsi tanpa memperhatikan apakah akibat-akibat itu baik atau buruk bisa
dikategorikan menjadi dua. Pertama, akibat-akibat langsung tanpa perantara. Ini
adalah akibat-akibat yang merupakan bagian dari perbuatan itu sendiri. Kedua,
akibat-akibat tak langsung melalui mereka yang merasakan bahwa perbuatan
tertentu, dalam hal ini perbuatan korupsi telah dilakukan.
Mc Mullan (dalam Saleh, K. Wantjik: 1983)
menyatakan bahwa akibat korupsi adalah ketidak efisienan, ketidakadilan, rakyat
tidak mempercayai pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara, tidak mendorong
perusahaan untuk berusaha terutama perusahaan asing, ketidakstabilan politik,
pembatasan dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan
akibat-akibat korupsi diatas adalah sebagai berikut :
1. Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan
terhadap perusahaan, gangguan penanaman modal.
2. Tata sosial
budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.
3. Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya
bantuan luar negeri, hilangnya
kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.
4. Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan
administrasi, hilangnya keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan
kebijaksanaan pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif.
5. Secara umum akibat korupsi adalah merugikan negara dan
merusak sendi-sendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional
seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
6. Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap
penanaman modal, terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap.
7. ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan
oleh militer, menimbulkan ketimpangan sosial budaya.
8. pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan
kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi.
BAB III
METODE PENULISAN
Objek Penulisan
Objek penulisan makalah ini adalah mengenai korupsi yang terjadi di Indonesia.
Dasar Pemilihan Objek
Saya sebagai penyusun makalah ini, memilih
objek permasalahan korupsi yang terjadi di Indonesia karena permasalahan ini
merupakan permasalahan yang sudah mendarah daging dari dulu hingga sekarang,
dan belum bisa untuk di tuntaskan.
Metode Pengumpulan
Data
Dalam pembuatan makalah ini, metode
pengumpulan data yang digunakan adalah kaji pustaka terhadap bahan-bahan
kepustakaan yang sesuai dengan permasalahan yang diangkat dalam makalah ini
yaitu mengenai tindakan korupsi. Sebagai referensi juga diperoleh dari situs
web internet yang membahas mengenai masalah-masalah korupsi terkini.
Metode Analisis
Penyusunan makalah ini berdasarkan metode deskriptif analistis,
yaitu mengidentifikasi permasalahan berdasarkan fakta dan data yanag ada,
menganalisis permasalahan berdasarkan pustaka dan data pendukung lainnya, serta
mencari alternatif pemecahan masalah.
BAB IV
PEMBAHASAN
Fakta korupsi yang
terjadi di masyarakat
Sebagai suatu kejahatan luar biasa, korupsi memiliki banyak wajah. Dalam sektor produksi, korupsi ada dari hulu sampai hilir, dari anak-anak sekolah sampai presiden, dari konglomerat sampai kyai.
Kwik Kian Gie, Ketua Bappenas, enyebut lebih
dari Rp 300 Triliun dana dari penggelapan pajak, kebocoran APBN, maupun
penggelapan hasil sumberdaya alam, menguap kekantong para koruptor.
Korupsi bisa diiringi dengan kolusi, membuat
keputusan yang diambil oleh pejabat Negara menjadi titik optimal. Heboh
privatisasi sejumlah BUMN, lahirnya perundang-undangan aneh semacam UU energi,
juga RUU SDA, impor gula dan beras dan sebagainya dituding banyak pihak
kebijakan yang sangat kolutif karena di belakangnya ada motivasi korupsi.
Bentuk korupsi terhadap uang Negara tidak
hanya terhadap utang luar negeri. Namun, juga utang domestik dalam bentuk obligasi
rekap bank-bank sebesar Rp 650 Triliun. Skandal BLBI yang tak kunjng usai
setidaknya menunjukkan terjadinya korupsi tingkat tinggi di kalangan pejabat
keuangan, kenglomerat serta banker. Kasus yang masih belum cukup lama adalah
skandal bank century pun telah menyebabkan uang lenyap, namun pelakunya tak ada
yang ditangkap.
Kasus korupsi BNI dengan nilai 1,7 triliun
rupiah yang ternyata kemudian juga diikuti dengan bank pelat merah yaitu BRI
dalam kasus jual-beli quota haji di wilayah kewenangan Depag, dan kasus
“tarif” untuk calon legislatif untuk nomor-nomor jadi yang bernilai
hingga ratusan juta rupiah.
Tidak hanya itu, korupsi pun terjadi di
daerah-daerah setingkat propinsi dan kota. Dalam harian Jurnal Bogor di bulan
juni 2009 memberitakan bahwa sekitar 90 persen bantuan dana sosial (bansos)
dari pemerintah jawa barat dipastikan diselewengkan. Menurut Kepala
Kejaksaan tinggi (Kejati) Drs. H.M. Amari, SH. MH, dari total dana yang
disalurkan ke semua daerah di Jabar termasuk bogor itu, hanya 10% saja yang
sampai kemasyarakat. Sementara yang 90 % nya tidak tersalurkan oleh penerima
bansos, seperti pengurus politik yayasan,panitia pembangunan rumah ibadah, dan
lembaga pendidikan.
Kejadian yang sangat mencoreng lembaga
pemerintahan adalah, kejadian penyelewengan atau penggelapan uang pajak oleh
gayus dan rekan-rekannya yang ber triliun-triliun besarnya dan hingga sampai
saat ini kasus ini belum selesai juga.
Tentu
saja tindakan korupsi sangatlah merugikan berbagai pihak. Korupsi juga membuat
semakin bertambahnya kesenjangan akibat buruknya distribusi kekayaan. Bila
sekarang kesenjangan kaya dan miskin sudah demikian menjauh, maka korupsi juga
makin melebarkan kesenjangan itu karena uang terdistribusi secara tidak sehat
(tidak mengikuti kaedah-kaedah ekonomi sebagaimana mestinya).
Koruptor makin kaya, dan yang miskin makin
miskin. Akibatnya lainnya, karena uang gampang diperoleh, sikap konsumtif jadi
terangsang. Tidak ada dorongan ke pola produktif, sehingga timbul inefisiensi
dalam pemanfaatan sumber daya ekonomi.
Upaya pemerintah dalam memberantas korupsi
Salah satu isu yang paling krusial untuk
dipecahkan oleh bangsa dan pemerintah Indonesia adalah masalah korupsi. Hal ini
disebabkan semakin lama tindak pidana korupsi di Indonesia semakin sulit untuk
diatasi. Maraknya korupsi di Indonesia disinyalir terjadi di semua bidang dan
sektor pembangunan. Apalagi setelah ditetapkannya pelaksanaan otonomi daerah,
berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang
diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, disinyalir korupsi
terjadi bukan hanya pada tingkat pusat tetapi juga pada tingkat daerah dan
bahkan menembus ke tingkat pemerintahan yang paling kecil di daerah. Pemerintah
Indonesia sebenarnya tidak tinggal diam dalam mengatasi praktek-praktek
korupsi. Upaya pemerintah dilaksanakan melalui berbagai kebijakan berupa
peraturan perundang-undangan dari yang tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945
sampai dengan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selain itu, pemerintah juga membentuk komisi-komisi yang berhubungan langsung
dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti Komisi
Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK).
Upaya pencegahan praktek korupsi juga
dilakukan di lingkungan eksekutif atau penyelenggara negara, dimana
masing-masing instansi memiliki Internal Control Unit (unit pengawas dan
pengendali dalam instansi) yang berupa inspektorat. Fungsi inspektorat
mengawasi dan memeriksa penyelenggaraan kegiatan pembangunan di instansi
masing-masing, terutama pengelolaan keuangan negara, agar kegiatan pembangunan
berjalan secara efektif, efisien dan ekonomis sesuai sasaran. Di samping
pengawasan internal, ada juga pengawasan dan pemeriksaan kegiatan pembangunan
yang dilakukan oleh instansi eksternal yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan
Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP). Selain lembaga internal dan
eksternal, lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga ikut berperan dalam melakukan
pengawasan kegiatan pembangunan, terutama kasus-kasus korupsi yang dilakukan
oleh penyelenggara negara. Beberapa LSM yang aktif dan gencar mengawasi dan
melaporkan praktek korupsi yang dilakukan penyelenggara negara antara lain
adalah Indonesian Corruption Watch (ICW), Government Watch (GOWA), dan
Masyarakat Tranparansi Indonesia (MTI).
Dilihat dari upaya-upaya pemerintah dalam memberantas praktek
korupsi, sepertinya sudah cukup memadai baik dilihat dari segi hukum dan
peraturan perundang-undangan, komisi-komisi, lembaga pemeriksa baik internal
maupun eksternal, bahkan keterlibatan LSM. Namun, kenyataannya praktek korupsi
bukannya berkurang malah meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan Indonesia
kembali dinilai sebagai negara paling terkorup di Asia pada awal tahun 2004 dan
2005 berdasarkan hasil survei dikalangan para pengusaha dan pebisnis oleh
lembaga konsultan Political and Economic Risk Consultancy (PERC). Hasil survei
lembaga konsultan PERC yang berbasis di Hong Kong menyatakan bahwa Indonesia merupakan
negara yang paling korup di antara 12 negara Asia. Predikat negara terkorup
diberikan karena nilai Indonesia hampir menyentuh angka mutlak 10 dengan skor
9,25 (nilai 10 merupakan nilai tertinggi atau terkorup). Pada tahun 2005,
Indonesia masih termasuk dalam tiga teratas negara terkorup di Asia. Peringkat
negara terkorup setelah Indonesia, berdasarkan hasil survei yang dilakukan
PERC, yaitu India (8,9), Vietnam (8,67), Thailand, Malaysia dan China berada
pada posisi sejajar di peringkat keempat yang terbersih. Sebaliknya, negara
yang terbersih tingkat korupsinya adalah Singapura (0,5) disusul Jepang (3,5),
Hong Kong, Taiwan dan Korea Selatan. Rentang skor dari nol sampai 10, di mana
skor nol adalah mewakili posisi terbaik, sedangkan skor 10 merupakan posisi
skor terburuk. Indonesia berada pada peringkat teratas dalam IPK (Indeks
Persepsi Korupsi) dikawasan asia. Nilai yang amat sangat sempurna dan baik yang
bisa diraih oleh indonesia seandainya gambar diatas bukan merupakan kurva yang
menunjukkan Indeks Persepsi Korupsi. Kenyataan pahit yang harus kita terima
sebagai rakyat indonesia. Apakah kita harus menerima IPK ini, dan apakah kita
harus menerima kelakuan para pemimpin kita yang seharusnya mempunyai
kepercayaan untuk membengun bangsa dan negeri ini menjadi lebih baik dan bukan
menjadi terpuruk dan hancur ?.
Jika ditingkat asia prestasi kita dalam
korupsi bisa dibilang buruk, Begitu pula dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK)
Indonesia tahun 2006 adalah 2,4 dan menempati urutan ke-130 dari 163 negara. Sebelumnya,
pada tahun 2005 IPK Indonesia adalah 2,2, tahun 2004 (2,0) serta tahun 2003
(1,9). Hal ini menunjukkan bahwa penanganan kasus korupsi di Indonesia masih
sangat lambat dan belum mampu membuat jera para koruptor.
BAB V
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan atas pembahasan diatas dan dari
rumusan masalah maka dapat disimpulkan bahwa korupsi merupakan Tingkah laku
individu yang menggunakan wewenang dan kekuasaannya guna mengeduk keuntungan
pribadi atau kelompok dan sangat merugikan kepentingan umum dan sangat
bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.
Bentuk-bentuk korupsi yang terjadi adalah
penyelewengan dana-dana atau keuangan Negara sehingga dapat merugikan rakyat
seperti skandal bank century, korupsi BNI dan BRI yang temasuk juga didalamnya Depag
serta kerupsi-korupsi terjadi pada tingkat daerah yaitu propinsi, yang
menyebabkan terjadinya korupsi adalah faktor kekayaan atau faktor motif pelaku
yang mempunyai motif serakah dan tidak puas, serta lemahnya control Negara,
perlakuan hukum yang berbeda, dan ringannya sanksi hukum.
Dari berbagai kejadian korupsi tersebut maka
tingkat korupsi di negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini termasuk Negara
yang paling tinggi korupsinya didunia. Meskipun berbagai macam upaya yang
dilakukan oleh pemerintah namun, semua itu belum membuahkan hasil yang
memuaskan. Padahal upaya pemberantasan korupsi ini dimulai sejak era bung karno
sampai sekarang, tetapi seakan-akan korupsi ini bagaikan penyakit dan virus
HIV/AID yang menyerang kekebalan tubuh manusia. Dalam hal ini adalah korupsi
yang akan melemahkan pembangunan dan kesejahteraan rakyat.
Saran
Melihat dari fakta yang ada, bahwa peran pemerintah dalam menjalankan upaya untuk pemberantasan korupsi masih belum maksimal meskipun adanya lembaga-lembaga yang sifatnya independen tetapi masih bisa untuk dilakukan lobi kasus, maka penulis kira masih sangat jauh dari berhasil dalam pemberantasan korupsi ini. Adapun saran yang dapat disampaikan didalam makalah ini adalah hendaknya pemerintah lebih meningkatkan kontrol terhadap lembaga-lembaga yang ada dan lebih menekankan sifat yang independen, kemudian ikut sertakan masyarakat untuk mengntrol jalannya pemerintahan, bisa diwakilkan dengan pembuatan kelompok atau organisasi yang sifatnya independen yang anggotanya berasal dari masyarakat, para aktifis dan mahasiswa.
Hendaknya juga agar pemerintah melakukan penegakan hukum secara konsisten dan sesuai dengan tingkat pidana yang dilakukan oleh pelaku, serta pemerintah juga harus berlaku secara independen tidak memihak siapapun, dan tidak pandang bulu. Tidak hanya itu, pemerintah juga harus melihat kedepannya agar sifat-sifat korup ini tidak menurun ke anak cucu, maka bentuklah watak bangsa mulai dari sekarang menjadi mental yang baik dan bertanggung jawab dalam segala hal baik secara moral maupun kelakuan. Tentunya melalui pendidikan dan sikap keteladanan dari pada pemimpin yang mejadi tombak utama sebagai cerminan dari pemerintah terhadap generasi penerus.
DAFTAR PUSTAKA
Alatas, Syed Hussein. 1986. Sosiologi Korupsi Sebuah Penjelajahan Dengan Datan Kontemporer. Jakarta: LP3ES.
Hehamahua, Abdullah dalam. 2004. “Membangun Sinergi Pendidikan
dan Agama dalam Gerakan Anti Korupsi”, dalam buku dalam buku Membangun Gerakan
Antikorupsi Dalam Perspektif Pendidikan, Yogyakarta: LP3 UMY, Partnership:
Governance Reform in Indonesia, Koalisi Antarumat Beragama untuk Antikorupsi.
Harian REPUBLIKA, 21 Nopember 2003. Islam dan Jalan Pemberantasan korupsi.
Harian REPUBLIKA, 21 Nopember 2003. Islam dan Jalan Pemberantasan korupsi.
Harian Jurnal Bogor, Edisi 24 Juni 2009. Artikel 90 persen dikorupsi.
Azhari. 2004. Korupsi
yang membumi. http:// www.hayatulislam.net
Bassar, M. Sudradjat. 1983. Hukum Pidana (Pelengkap KUHP), Bandung : CV Armico,
Bassar, M. Sudradjat. 1983. Hukum Pidana (Pelengkap KUHP), Bandung : CV Armico,
Buletin Al Islam Edisi 182. Agar
Memerangi Korupsi Tak Sebatas Jargon.
Bayley, David H. 1995.
“Bunga Rampai Korupsi”. Jakarta:
LP3ES.
Sjahrudin Rasul. Dkk. 2002. UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN
KORUPSI PADA PENGELOLAAN BUMN/BUMD DAN PERBANKAN. Jakarta: BADAN PENGAWASAN
KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN TIM PENGKAJIAN SPKN 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar